Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
“…Siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada Allah?”
(QS. An-Nisa: 87 – ḥadīṡan)
“…Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?”
(QS. An-Nisa: 122 – qīlan)
Dua ayat tersebut tampak serupa namun memiliki makna yang berbeda secara konteks. Kata ḥadīṡan (حديثًا) merujuk pada perkataan Allah tentang kejadian—baik yang akan datang, sedang berlangsung, maupun yang telah berlalu. Sementara qīlan (قِيلًا) lebih mengarah pada ketetapan, hukum, atau aturan yang bersifat tetap. Kedua-duanya menegaskan bahwa tidak ada perkataan yang lebih benar dan pasti selain dari Allah.
Salah satu bentuk ketetapan Allah yang besar adalah kewajiban puasa. Dalam firman-Nya:
“…laʿallakum tattaqūn”
(“…agar kamu bertakwa.”)
Target utama dari puasa adalah takwa. Kata “takwa” berasal dari akar kata yang bermakna menjaga (wakafa, wali), yakni menjaga diri dari murka Allah. Dalam konteks puasa dan kehidupan sehari-hari, makna laʿallakum tattaqūn dapat dijabarkan menjadi tiga lapisan penjagaan:
- Menjaga agar Allah tidak murka kepada kita
- Menjaga agar alam semesta tidak murka kepada kita
- Menjaga agar sesama manusia tidak murka kepada kita
Menjalankan Kewajiban sebagai Bentuk Penjagaan
Agar kita terhindar dari kemurkaan Allah, alam, dan sesama, dibutuhkan ikhtiar nyata melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban kita:
1. Kepada Allah:
Bentuk program yang mewujudkan perintah-perintah-Nya. Misalnya, dalam bidang pendidikan, Rasulullah SAW memberikan akses belajar secara gratis, karena pendidikan adalah perintah Allah yang harus dipenuhi. Saat ini, banyak perintah Allah yang belum terimplementasi karena rendahnya semangat belajar dan menuntut ilmu. Begitu pula dalam bidang kesehatan, pelayanan diberikan secara cuma-cuma namun tetap didukung oleh baitul mal.
2. Kepada Alam:
Ketika manusia tidak menjaga alam, maka alam akan murka. Contoh nyata adalah tingginya konsumsi mikroplastik di Indonesia yang berdampak pada kesehatan. Jika manusia menjaga kelestarian alam, maka alam pun akan memberikan kebaikan.
3. Kepada Sesama:
Sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13, manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal dan saling menghormati. Ketakwaanlah yang menjadi standar kemuliaan di sisi Allah, bukan ras, suku, atau status sosial.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Meneladani Sifat Halim Allah dalam Interaksi Sosial
Salah satu sifat Allah yang agung adalah Al-Halim—Yang Maha Lembut. Dalam kehidupan sosial, sifat ini dapat kita teladani melalui:
- Tidak cepat marah.
Ketika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai keinginan, jangan langsung meledak emosi. Telusuri dulu sebabnya. - Tidak langsung membalas kesalahan.
Kurangi kecenderungan membalas kesalahan atau ketidaksesuaian yang kita terima. Latih kesabaran. - Memberi solusi atas kesalahan.
Jika melihat kesalahan, jangan hanya menghakimi—berikan juga jalan keluar atau perbaikan.
Keluarga dan masyarakat akan lebih harmonis jika setiap anggota menjalankan kewajibannya. Seorang istri yang menunaikan kewajibannya membuat suami tidak marah. Begitu pula anak yang taat akan mendatangkan ridha orang tua.
Dengan menjaga hubungan harmonis antara Allah, alam, dan sesama, kita dapat menjalani kehidupan yang penuh keberkahan. Mari jadikan Ramadhan dan hari-hari setelahnya sebagai momentum untuk lebih bertakwa, bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam interaksi dan kepedulian sosial kita sehari-hari.